Burung di Indonesia Paling Terancam Punah di Dunia
Rinciannya adalah 18 jenis berstatus ‘kritis’, 31 jenis ‘genting’, sementara 73 jenis tergolong ‘rentan’. Indonesia memiliki 1.594 jenis dari 10.000 jenis burung di dunia, Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai pemilik burung urutan ke-5 terbanyak di dunia.
“Selain perburuan dan perdagangan, penyebab utama terancam punahnya berbagai jenis burung di Indonesia adalah gangguan atau tekanan pada habitat. Kegiatan manusia merubah lingkungan alami (hutan) menjadi lahan pertanian, perkebunan, hingga pembangunan infrastruktur untuk kegiatan industri, merupakan serangkaian aktifitas yang menyebabkan berkurang bahkan hilangnya habitat burung,” demikian ungkap Ria Saryanthi, Manager Program Konservasi Burung Indonesia dalam siaran pers (11/1), memperingati Hari Sejuta Pohon yang jatuh setiap 10 Januari setiap tahunnya.
Jenis-jenis merpati hutan (Columba sp.), uncal (Macropygia sp.), delimukan (Chalcopaps sp. dan Gallicolumba sp), pergam (Ducula sp.), dan walik (Ptilinopus sp.) merupakan keluarga merpati yang memiliki ketergantungan sangat tinggi dengan habitat hutan. Tak mengherankan jika dari 122 jenis yang terancam punah, 12 jenis di antaranya juga merupakan suku Collumbidae.
Menurut Saryanthi, meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami ini disebabkan bertambahnya jumlah penduduk serta kebijakan ekonomi dan pembangunan. Timbulnya tekanan terhadap habitat alami juga erat kaitannya dengan kemiskinan, pemanfaatan sumber daya dan lahan hutan, serta pengembangan pertanian. Faktor-faktor ini yang mendorong terjadinya kerusakan habitat, meningkatnya polusi, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan.
Laporan akhir Kajian Sumber Daya Hutan Global 2010 (FRA 2010) FAO juga menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati hutan di dunia terancam oleh tingkat deforestasi dan degradasi hutan serta penurunan kawasan hutan primer global yang tinggi. Kajian dalam laporan akhir FRA 2010 yang diterbitkan pada awal pertemuan dua tahunan Komite Kehutanan FAO dan Pekan Hutan Dunia, di Roma (4 Oktober 2010) menemukan bahwa secara global, sekitar 13 juta hektar (ha) hutan dikonversi menjadi penggunaan lain (termasuk pertanian) atau hilang karena penyebab alami setiap tahun antara tahun 2000 dan 2010. Data ini turun dari sekitar 16 juta ha per tahun selama 1990-an.
Hutan primer, khususnya hutan tropis basah, termasuk beberapa ekosistem yang paling kaya dan beragam spesies di dunia. Hutan primer seluas 36 persen (1,4 juta ha) areal hutan dunia namun telah menurun lebih dari 40 juta ha - pada tingkat 0,4 persen per tahun - selama sepuluh tahun terakhir.
Menurut kajian FAO, ini tidak berarti bahwa hutan tersebut hilang, melainkan, dalam banyak kasus mereka dialihfungsikan karena intervensi tebang pilih manusia atau lainnya selama periode pembuatan laporan FAO ini. Badan PBB menekankan bahwa hutan di mana manusia telah mengintervensinya masih memiliki nilai-nilai keanekaragaman hayati penting, memberikan kontribusi yang penting terhadap perlindungan lingkungan, dan mempertahankan mata pencaharian, asalkan mereka dikelola dengan baik.
Amerika Selatan menyumbang proporsi kerugian kerusakan hutan primer terbesar, diikuti oleh Afrika dan Asia. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati hutan meliputi manajemen hutan yang tidak lestari, perubahan iklim, kebakaran hutan, hama dan penyakit, bencana alam dan spesies invasif - yang semuanya menyebabkan kerusakan parah di beberapa negara.
Sementara itu studi yang diterbitkan dalam jurnal Science internasional menggunakan data 25.000 spesies dari The IUCN Red List of Threatened Species, untuk menyelidiki status vertebrata dunia (mamalia, burung, amfibi, reptil dan ikan) dan bagaimana status ini telah berubah dari waktu ke waktu. Hasil studi ini menunjukkan bahwa, rata-rata, 50 jenis mamalia, burung dan amfibi bergerak mendekati kepunahan setiap tahun karena dampak perluasan pertanian, penebangan, eksploitasi berlebihan dan spesies asing invasif (IUCN, 27 Oktober 2010).
Dalam kurun waktu terakhir ini, Asia Tenggara telah mengalami kerusakan paling dramatis, terutama didorong oleh adanya penanaman tanaman ekspor seperti kelapa sawit, operasi kayu komersial, konversi pertanian untuk sawah dan perburuan tidak berkelanjutan. Kawasan dari Amerika Tengah, kawasan tropis Andes Amerika Selatan, dan bahkan Australia, juga mengalami kerusakan yang sama, terutama akibat jamur chytrid mematikan pada amfibi.
Hasil studi ini menyebutkan persentase spesies vertebrata terancam berkisar antara 13 persen burung menjadi 41 persen burung amfibi. Meskipun studi ini difokuskan pada vertebrata, studi ini juga menyoroti tingkat ancaman di antara beberapa kelompok lain pada IUCN Red List, termasuk 14 persen dari lamun, 32 persen dari lobster air tawar dan 33 persen dari terumbu karang.
Upaya Pelestarian
Studi ini juga menunjukkan manfaat upaya konservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status keanekaragaman hayati akan menurun hampir 20 persen jika tindakan konservasi belum dilakukan.
Pada saat yang sama laporan FAO juga mengatakan bahwa kawasan hutan yang ditunjuk untuk konservasi keanekaragaman hayati telah meningkat lebih dari 95 juta ha sejak tahun 1990. Porsi terbesar (46 persen) ditetapkan antara 2000 dan 2005. Hari ini 12 persen dari hutan dunia (lebih dari 460 juta ha) yang diperuntukan terutama untuk melestarikan keanekaragaman hayati.
Menurut Burung Indonesia yang aktif dalam pemantauan burung di Indonesia, prioritas konservasi perlu dilakukan untuk mencegah semakin tingginya tekanan terhadap habitat. Pendekatannya melalui pengelolaan kawasan konservasi oleh masyarakat dan kesepakatan pelestarian dengan pemilik lahan bisa dilakukan. Pendekatan ini memberikan kesempatan yang lebih fleksibel bagi pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Di sisi lain, pendekatan alternatif dapat memberikan kontribusi besar terhadap pengurangan angka kemiskinan di sekitar kawasan, yang sangat bergantung kepada sumber daya alam yang tersedia.
Sedangkan penguatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan melalui pembentukan Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan, yang merupakan gabungan dari beberapa desa di sekitar kawasan konservasi. Kelompok masyarakat bersama pemerintah dapat bersama-sama menyusun strategi pengelolaan berdasarkan kesepakatan antara para pemangku kepentingan. Berbekal penguatan kapasitas masyarakat, diharapkan kawasan prioritas dapat dikelola secara partisipatif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar kawasan.
Alternatif pengelolaan lain dapat dilakukan dalam bentuk konsesi untuk restorasi ekosistem yang bertujuan mengembalikan kondisi biotik dan abiotik sehingga tercapai keseimbangan hayati. Melalui restorasi ekosistem, hutan yang sebagian telah rusak dapat diselamatkan dan dikembalikan sebagaimana kondisi aslinya. Restorasi ekosistem tidak hanya meningkatkan produktifitas hutan dan pelestarian keragaman hayati, tetapi juga peningkatan nilai ekonomi sumber daya hutan untuk kesejahteraan masyarakat.
Ani Purwati - 11 Jan 2011 (beritabumi.com)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar